indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak sekali paham yang beredar. paham tersebut menyebabkan perbedaan - perbedaan yang mendasar salah satunya dalam hal jenis nama hantu. indonesia juga tercatat sebagai negara dengan jumlah nama hantu terbanyak... nah postingan kali ini saya akan membahas tentang asal usul nama hantu di indonesia.
Kuntilanak
asal usul nama hantu kuntilanak yaitu diambil dari dua kata “Kunti” yang berarti Bunting dan “Anak” yang berarti Anak. Jadi hantu kuntilanak artinya adalah hantu wanita yang meninggal saat bunting atau melahirkan anak. Kuntilanak dalam bahasa Melayu: puntianak, pontianak adalah hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia atau wanita yang meninggal karena melahirkan dan anak tersebut belum sempat lahir. Nama “kuntilanak” atau “pontianak” kemungkinan besar berasal dari gabungan kata “bunting” (hamil) dan “anak”. Kota Pontianak mendapat namanya karena konon Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak, diganggu hantu ini ketika akan menentukan tempat pendirian istana. Dalam folklor Melayu, sosok kuntilanak digambarkan dalam bentuk wanita cantik yang punggungnya berlubang. Kuntilanak digambarkan senang meneror penduduk kampung untuk menuntut balas. Kuntilanak sewaktu muncul selalu diiringi harum bunga kamboja. Konon laki-laki yang tidak berhati-hati bisa dibunuh sesudah kuntilanak berubah wujud menjadi penghisap darah. Kuntilanak juga senang menyantap bayi dan melukai wanita hamil. Dalam cerita seram dan film horor di televisi Malaysia, kuntilanak digambarkan membunuh mangsa dengan cara menghisap darah di bagian tengkuk, seperti vampir. Agak berbeda dengan gambaran menurut tradisi Melayu, kuntilanak menurut tradisi Sunda tidak memiliki lubang di punggung dan hanya mengganggu dengan penampakan saja. Jenis yang memiliki lubang di punggung sebagaimana deskripsi di atas disebut sundel bolong. Kuntilanak konon juga menyukai pohon tertentu sebagai tempat “bersemayam”, misalnya waru yang tumbuh condong ke samping (populer disebut “waru doyong”).