Definisi GAJI & PINJAMAN
GAJI : UU No. 40 Tahun 2004
• Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
UPAH: UU No. 3 Tahun 1992
• Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.
• Gaji/upah adalah bagian dari sistem remunerasi yang merupakan elemen terpenting dalam dunia ketenagakerjaan.
• menurut kamus besar bahasa indonesia pusat bahasa edisi keempat departemen pendidikan nasional. Penerbit PT. gramedia pustaka utama jakarta 2008, remunerasi diartikan sebagai uang yang diberikan sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilakukan atau imbalan.
Upah merupakan salah satu rangsangan penting bagi para karyawan dalam suatu perusahaan. Hal ini tidaklah berarti bahwa tingkat upahlah yang merupakan pendorong utama, tingkat upah hanya merupakan dorongan utama hingga pada tarif dimana upah itu belum mencukupi kebutuhan hidup para karyawan sepantasnya. Upah sebenarnya merupakan salah satu syarat perjanjian kerja yang diatur oleh pengusaha dan buruh atau karyawan serta pemerintah.
“Upah adalah jumlah keseluruhan yang ditetapkan sebagai pengganti jasa yang telah dikeluarkan oleh karyawan meliputi masa atau syarat-syarat tertentu.”
Dewan Penelitian Pengupahan Nasional memberikan definisi pengupahan sebagai berikut :
“Upah ialah suatu penerimaan kerja untuk berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi dinyatakan menurut suatu persetujuan Undang-undang dan Peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja.”
Dari pengertian diatas mengenai upah ini dapat diartikan bahwa upah merupakan penghargaan dari tenaga karyawan atau karyawan yang dimanifestasikan sebagai hasil produksi yang berwujud uang, atau suatu jasa yang dianggap sama dengan itu, tanpa suatu jaminan yang pasti dalam tiap-tiap menggu atau bulan.
Gaji sebenarnya juga upah, tetapi sudah pasti banyaknya dan waktunya. Artinya banyaknya upah yang diterima itu sudah pasti jumlahnya pada setiap waktu yang telah ditetapkan. Dalam hal waktu yang lazim digunakan di Indonesia adalah bulan. Gaji merupakan upah kerja yang dibayar dalam waktu yang ditetapkan. Sebenarnya bukan saja waktu yang ditetapkan, tetapi secara relatif banyaknya upah itu pun sudah pasti jumlahnya. Di Indonesia, gaji biasanya untuk pegawai negeri dan perusahaan-perusahaan besar. Jelasnya di sini bahwa perbedaan pokok antara gaji dan upah yaitu dalam jaminan ketepatan waktu dan kepastian banyaknya upah. Namun keduanya merupakan balas jasa yang diterima oleh para karyawan atau karyawan.
Sistem Upah.
Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mendistribusikan upah, dirumuskan empat sistem yang secara umum dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
1. Sistem upah menurut banyaknya produksi.
2. Sistem upah menurut lamanya bekerja.
3. Sistem upah menurut lamanya dinas.
4. Sistem upah menurut kebutuhan.
Berikut ini akan dijelaskan keempat macam sistem pengupahan tersebut :
1. Sistem upah menurut banyaknya produksi.
Upah menurut banyaknya produksi diberikan dapat mendorong karyawan untuk bekerja lebih giat dan berproduksi lebih banyak. Produksi yang dihasilakan dapat dihargai dengan perhitungan ongkosnya. Upah sebenarnya dapat dicari dengan menggunakan standar normal yang membandingkan kebutuhan pokok dengan hasil produksi. Secara teoritis sistem upah menurut produksi ini akan diisi oleh tenaga-tenaga yang berbakat dan sebaliknya orang-orang tua akan merasa tidak kerasan.
2. Sistem upah menurut lamanya dinas.
Sistem upah semacam ini akan mendorong untuk lebih setia dan loyal terhadap perusahaan dan lembaga kerja. sistem ini sangat menguntungkan bagi yang lanjut usia dan juga orang-orang muda yang didorong untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan. Hal ini disebabkan adanya harapan bila sudah tua akan lebih mendapat perhatian. Jadi upah ini kan memberikan perasaan aman kepada karyawan, disamping itu sistem upah ini kurang bisa memotivasi karyawan.
3. Sistem upah menurut lamanya kerja.
Upah menurut lamanya bekerja disebut pula upah menurut waktu, misalnya bulanan. Sistem ini berdasarkan anggapan bahwa produktivitas kerja itu sama untuk waktu yang kerja yang sama, alasan-alasan yang lain adalah sistem ini menimbulkan ketentraman karena upah sudah dapat dihitung, terlepas dari kelambatan bahan untuk bekerja, kerusakan alat, sakit dan sebagainya.
4. Sistem upah menurut kebutuhan.
Upah yang diberikan menurut besarnya kebutuhan karyawan beserta keluarganya disebut upah menurut kebutuhan. Seandainya semua kebutuhan itu dipenuhi, maka upah itu akan mempersamakan standar hidup semua orang.
Salah satu kelemahan dari sistem ini adalah kurang mendorong inisiatif kerja, sehingga sama halnya dengan sistem upah menurut lamanya kerja dan lamanya dinas. Kebaikan akan memberikan rasa aman karena nasib karyawan ditanggung oleh perusahaan.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Upah.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi besarnya upah yang diterima oleh para karyawan, yaitu :
1. Penawaran dan permintaan karyawan.
2. Organisasi buruh.
3. Kemampuan untuk membayar.
4. Produktivitas.
5. Biaya hidup.
6. Peraturan pemerintah.
Keadilan dan Kelayakan Dalam Pengupahan. Didalam memberikan upah/gaji perlu juga memperhatikan prinsip keadilan. Keadilan bukan berarti bahwa segala sesuatu mesti dibagi sama rata. Keadilan harus dihubungkan antara pengorbanan dengan penghasilan. Semakin tinggi pengorbanan semakin tinggi penghasilan yang diharapkan. Karena itu pertama yang harus dinilai adalah pengorbanan yang diperlukan oleh suatu jabatan, pengorbanan dari suatu jabatan dipertunjukan dari persyaratan-persyaratan (spesifikasi) yang harus dipenuhi oleh orang yang memangku jabatan tersebut. Semakin tinggi persyaratan yang diperlukan, semakin tinggi pula penghasilan yang diharapkan. Penghasilan ini ditunjukan dari upah yang diterima.
Rasa keadilan ini sangat diperhatikan oleh para karyawan, mereka tidak hanya memperhatikan besarnya uang yang dibawa pulang, tetapi juga membandingkan dengan rekan yang lain. Disamping masalah keadilan, maka dalam pengupahan perlu diperhatikan unsur kelayakan. Kelayakan ini bisa dibandingkan dengan pengupahan pada perusahaan-perusahaan lain. Atau bisa juga dengan menggunakan peraturan pemerintah tentang upah minimum atau juga dengan menggunakan kebutuhan pokok minimum.
Dalam hubungannya dengan ketidak layakan dengan pengupahan apabila dibandingkan dengan perusahaan lain, ada dua macam ketidak layakan tersebut, yaitu Mengundang skala-skala upah yang lebih rendah dibandingkan dengan skala upah yang dibayarkan untuk skala pekerjaan yang sama dalam perusahaan lain.
a. Skala-skala upah dimana suatu pekerjaan tertentu menerima pembayaran yang kurang dari skala yang layak dibandingkan dengan skala-skala untuk jenis pekerjaan yang lain dalam perusahaan yang sama.
Landasan Kebijaksanaan Pengupahan.
Dalam kebijaksanaan pengupahan tujuan utama yaitu kebijaksanaan yang mendasarkan upah dari sumbangan tenaga dan pikiran karyawan. Struktur upah/gaji menunjukan sistem yang formal mengenai skala-skala untuk tujuan tersebut. Sistem ini membedakan dalam pembayaran-pembayaran yang dianggap menunjukan perbedaan yang sama dalam bentuk-bentuk pekerjaan. Tambahan-tambahan produktivitas atau penyesuaian faktor-faktor perbaikan yang menghubungkan upah/gaji dengan dibuat menurut rata-rata kemajuan perusahaan.
Kebijaksanaan pengupahan umumnya dibuat untuk :
a). Adanya pembayaran upah/gaji yang cukup untuk menjamin hidup berkeluarga dalam keadaan normal.
b). Mengadakan deferensiasi penghargaan pengupahan/penggajian dalam perbedaan skill, tanggungjawab, usaha dan kondisi kerja.
c). Mengadakan suatu pembinaan pengupahan/penggajian sesuai dengan peningkatan karya atau efisiensi kerja yang diberikan untuk mempertinggi daya hidup karyawan.
d). Mengadakan suatu pembinaan pengupahan/penggajian menurut stabilitas keuangan perusahaan.
Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja
Meskipun kompensasi bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kinerja, akan tetapi diakui bahwa kompensasi merupakan salah satu faktor penentu yang dapat mendorong kinerja karyawan. Jika karyawan merasa bahwa usahanya dihargai dan organisasi menerapkan sistim kompensasi yang baik, maka umumnya karyawan akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.
Kompensasi yang diberikan kepada pegawai sangat berpengaruh pada tingkat kompensasi dan motivasi kerja serta kinerja pegawai. Perusahaan yang menentukan tingkat upah dengan mempertimbangkan standar kehidupan normal, akan memungkinkan pegawai bekerja dengan penuh motivasi. Hal ini karena motivasi kerja pegawai banyak dipengaruhi oleh terpenuhi tidaknya kebutuhan minimal kehidupan pegawai dan keluarganya. Pegawai yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja, biasanya akan memiliki kinerja yang tinggi pula.
Imbalan atau kompensasi akan memotivasi prestasi, mengurangi perputaran tenaga kerja, mengurangi kemangkiran dan menarik pencari kerja yang berkualitas ke dalam organisasi. Oleh karenanya imbalan dapat dipakai sebagai dorongan atau motivasi pada suatu tingkat perilaku dan prestasi, dan dorongan pemilihan organisasi sebagai tempat bekerja.
Intermediasi Keuangan dan Pendelegasian Pengawasan
Bagan diatas akan lebih mudah dipelajari dengan melihat keterangan dari hubungan dari proses yang satu dengan proses lainnya. Dan berikut penjelasannya:
1. Hubungan Antara Pember Pinjaman, Lembaga Keuangan, dan Peminjam
Berbicara tentang lembaga keuangan, maka kita akan mendapatkan 3 pelaku utama yang saling berhubungan dengan pengaliran dana dalam kegiatan moneter. Pelaku yang pertama adalah pihak pemberi pinjaman (lender) atau deposan (deposito) yang merupakan pihak yang memiliki kelebihan dana atau disebut sebagai unit surplus. Pihak kedua adalah pihak peminjam (borrower) atau entrepreneur yang merupakan pihak yang mengalami kekurangan liquiditas atau disebut juga sebagai unit defisit. Pelaku yang terakhir adalah lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan yang menghubungkan antara pihak surplus dengan pihak defisit.
Dalam kehidupan sehari-hari, pihak pemberi pinjaman atau pihak surplus menyetorkan kelebihan dananya kepada lembaga keuangan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya. Lalu, lembaga keuangan yang mengelola dana tersebut sebagai dana yang akan dipinjamkan kepada peminjam atau pihak defisit. Pihak defisit lalu menggunakan dana tersebut untuk melakukan suatu investasi, usaha atau digunakan untuk konsumsi.
2. Kondisi Informasi Asimetris
Kemampuan mengakses informasi dari seluruh pihak dalam lalu lintas keuangan tentu saja berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Faktanya, pihak peminjam memiliki akses yang lebih banyak dalam memiliki informasi tentang penggunaan dana yang diberikan kepadanya. Sedangkan pihak pemberi pinjaman dan pihak perantara hanya terbatas pada beberapa aspek saja. Dalam ekonomi, kondisi ini disebut informasi asimetris (asymmetric information) atau ketidaksempurnaan informasi. Secara teoritis informasi asimetris adalah perbedaan kemampuan dalam mengakses informasi. Ketidaksempurnaan informasi terjadi bila salah satu atau lebih dari pihak yang bertransaksi memiliki informasi lebih tentang kualitas input, output, maupun tentang aspek-aspek ekonomi lain yang mana pihak lawan kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut (misalnya terlalu mahal untuk mengakses informasi tersebut). Sebagai contohnya, pemberi pinjaman dan perantara tidak mengetahui berapa besar laba yang dihasilkan oleh peminjam dari penggunaan dana yang dipinjamnya sehingga hanya menguntungkan satu pihak saja.
3. Masalah Insentif
Salah satu dampak dari informasi asimetris adalah timbulnya peluang untuk menyalahgunakan informasi yang dimiliki. Informasi yang dimiliki tersebut disampaikan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, tetapi memberikan manfaat bagi peminjam. Sekarang tergantung pada pihak peminjam. Dia (peminjam) memilliki pilihan untuk menyampaikan informasi secara benar atau tidak benar demi mendapatkan keuntungan moneter. Apabila peminjam memilih untuk menyampaikan secara tidak benar maka tindakan yang dilakukannya disebut Moral Hazard. Dengan adanya moral hazard, terbuka peluang munculnya inefisiensi di pasar uang karena informasi asimetris.
Untuk menurunkan atau meminimumkan dampak negatif dari informasi asimetris dan moral hazard ini berarti harus dilakukan tindakan-tindakan tertentu. Bahkan untuk menyelesaikan masalah tersebut timbul masalah baru. Masalah baru tersebut timbul dalam perumusan tindakan-tindakan yang dibutuhkan agar pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak menyampaikan informasi tersebut secara benar. Sehingga, informasi yang diterima sang pemberi pinjaman adalah informasi yang benar dan sesuai fakta sesungguhnya serta tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk mengatasi masalah insentif ini, ada beberapa pilihan yaitu tanpa intermediasi dan pendelegasian pengawasan.
4. Tanpa Intermediasi
Seperti yang telah disinggung pada penjelasan sebelumnya, solusi utama dari informasi asimetris adalah melakukan pengawasan dari pemberi pinjaman (deposan) kepada peminjam. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan pendelegasian (inermediasi) ataupun tanpa pendelegasian. Tanpa intermediasi bertolak belakang dengan pendelegasian pengawasan. Dalam pengawasan tanpa intermediasi tidak dilakukan pendelegasian pengawasan. Ada dua kemungkinan kondisi yang timbul akibat tanpa intermediasi, kondisi pertama bila informasi sebagai barang pribadi (privat) dan yang kedua bila informasi sebagai barang publik.
4.1 Implikasi Yang Muncul Dari Pengawasan Tanpa Intermediasi Bila Informasi Sebagai Barang Pribadi/ Privat
Kondisi yang terjadi apabila informasi dianggap sebagai barang pribadi yakni semua kegiatan pengawasan akan dilakukan oleh semua pihak secara sendiri-sendiri baik dari pihak deposan maupun pihak lembaga keuangan. Hasil informasi dari pengawasan tersebut tidak akan bisa dimanfaatkan oleh pihak lain, padahal pihak-pihak yang terkait dengan pasar uang memerlukan informasi tersebut. Dengan adanya pengawasan sendiri-sendiri pada peminjam, maka akan memunculkan kegiatan duplikasi pengawasan. Kegiatan ini menyebabkan tindakan pengawasan menjadi sangat mahal.
4.2 Implikasi Yang Muncul Dari Pengawasan Tanpa Intermediasi Bila Informasi Sebagai Barang Publik
Lain halnya dengan anggapan bila informasi dinyatakan sebagai barang privat, kondisi yang terjadi apabila informasi dianggap sebagai barang pribadi memunkinkan tidak dilakukan pengawasan sama sekali karena tanpa campur tangan otoritas moneter, informasi hasil pengawasan akan menjadi milik bersama atau informasinya akan banyak dinikmati oleh penumpang gelap (free-rider) sehingga individu akan merasa rugi bila melakukan pengawasan. Individu tidak terdorong melakukan pengawasan karena kegiatan pengawasan memerlukan pengorbanan sumber daya atau biaya, dan disisi lain, yang akan menikmatinya adalah semua orang sehingga individu yang melakukan pengawasan merasa dirugikan.
Kegiatan pengawasan dalam kondisi demikian hanya akan efektif bila dilakukan oleh otoritas moneter, dan hal tersebut sama saja dengan pendelegasian pengawasan.
5. Delegasi Pengawasan
Lain halnya dengan pengawasan tanpa intermediasi, pendelegasian pengawasan atau intermediasi adalah pengawasan pada pihak lender yang didelegasikan oleh deposan (depositor) kepada lembaga keuangan. Kegiatan ini dilakukan karena deposan memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan dalam kaitannya keberadaan lembaga keuangan sebagai perantara keuangan. Pengawasan atau monitoring ini dilakukan oleh lembaga keuangan yang memang memiliki kemampuan dan spesialisasi dalam bidang pengawasan. Delegasi pengawasan menjadi solusi yang tepat bagi masalah insentif sehingga diharapkan penyalahgunaan akses informasi dari peminjam dapat lebih terminimalisasi.
Dengan menjadikan delegasi pengawasan menjadi solusi utama, perlu disadari bahwa kegiatan delegasi pengawasan tersebut memerlukan biaya dan harus memiliki tujuan tertentu. Tujuan dari kegiatan pendelagasian pengawasan ini adalah sebagai upaya untuk mendapatkan tingkat pengembalian sejumlah dana (rate of return) dari hasil penyaluran dana yang telah dipinjam oleh pihak defisit, tanpa melupakan resiko investasi yang harus dihadapinya. Return merupakan salah satu faktor yang memotivasi deposan berinvestasi dan juga merupakan imbalan atas keberanian deposan menanggung resiko atas investasi yang telah dilakukannya sehingga return diartikan sebagai keuntungan yang diperoleh deposan atas dana yang ditanamkan pada suatu investasi.
Dengan tujuan mendapatkan tingkat pengembalian sejumlah dana dan agar biaya yang dikeluarkan dalam pengawasan tersebut tidak terlalu banyak maka diperlukan minimalisasi biaya delegasi pengawasan dan atau maksimisasi tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) bagi pengusaha atau entrepreneur dengan kendala-kendala tingkat pengembalian tertentu yang sering terjadi pada peminjam.
Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh masing-masing karakter pihak-pihak yang terlibat dalam sistem lembaga keuangan dan dalam proses penyaluran dana. Ada dua karakter yang harus dipahami, yakni karakter yang cenderung menghindari resiko (risk averse) dan karakter yang cenderung netral terhadap resiko (risk neutral). Investor risk neutral adalah investor yang besaran risiko seimbang dengan besaran tingkat pengembalian yang diperoleh. Biasanya, deposan neutral ini dianggap deposan yang moderat. Selanjutnya, deposan risk averse, yaitu investor yang masih bisa mentolerir risiko yang kecil, bukan tidak mau menerima atau menghindari risiko. Jika dilihat dari sudut instrument investasi tidak ada satupun lembaga keuangan yang menjajikan adanya resiko nol terhadap para deposan.
Dalam membantu upaya minimisasi Biaya Delegasi dan Maksimisasi Expected Rate of Return pada entrepreneur, pengawasan dapat dilakukan dengan Penalti Nonkeuangan atau Non-Peuniary Penalty yakni adalah hukuman yang bukan berupa uang yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada pihak defisi atau peminjam dan atau para entrepreneur yang memanfaatkan kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan. Hukuman yang dimaksud bukan berupa denda, melainkan seperti penjara atau penyitaan investasi peminjam. Dengan demikian, adanya unsure paksaan untuk mengembalikan dana yang telah dipinjam sesuai denan tingkat pengembalian yang ditentukan oleh lembaga keuangan tertentu.